Welcome to My Website

Melalui media ini kami mengajak anda untuk Belajar Bersama dan Besama Belajar mengenai banyak hal.

Kolom Tutorial

Diposting oleh Pondok Mahalona Selasa, 03 November 2009 0 komentar

Hanya Satu kata, MEMALUKAN

Pada saat kita sedang khusyu berpuasa, rakyat sedang menjerit mengenai pendidikan yang semakin mahal, eh..mahasiswa UNM Makassar (ex IKIP Negri Makassar).Apapun alasannya, tawuran antara sesame mahasiswa yang dikenal sebagai masyarakat intelektual SANGAT MENJIJIKKAN, terlebih UNM sebagai institusi negeri yang dibiayai oleh Negara yang notabenenya adalah UANG RAKYAT. Yang ditayangkan di TPI Rabu sekitar Pukul 17.00 sepertinya bukan mahasiswa, tapi preman kampus yang dengan bangganya mengacung-acungkan parang panjang dan senjata rakitan (Papporo).
Tahun 90-an hingga 98-an, yang sering tawuran adalah mahasiswa UNHAS, tapi tahun 2000-an yang jadi bintang tawuran adalah UNM. Sebelum berubah jadi universitas mahasiswa IKIP saat itu dikenal santun, lugu dan tidak begitu modis, maklum IKIP merupakan pilihan kesekian bagi calon mahasiswa saat itu, terutama bagi mereka yang dari UNPTN. Selain jadi dosen, menjadi guru oleh sebagian anak muda tidak begitu membanggakan, padahal sungguh mulia tugas guru. Gurulah yang membuat kita menjadi pintar bahkan lebih pintar dari mereka.
Dari pengamatan saya, setelah sekian lama menjadi mahasiswa kelas II, begitu pula dosen-dosennya (dibandingkan UNHAS), metamorfosa IKIP (sekolah guru) menjadi UNM membuat euphoria indentitas dari sebagian masiswa UNM, terutama mereka yang merupakan angkatan yang tidak pernah merasakan masa sebagai mahasiswa IKIP. Timbul persaan ingin melepaskan stigma subordinasi UNHAS sebagai sesama mahasiswa universitas negeri, Keinginan tersebut teraktualisasi dengan berbagai macam gerakan dilakukan, mulai dari demo yang berlebihan bahkan kadang tidak rasional. Sedikit-sekidit demo, sedikit-sekidit demo demo kok cuma sedikit… tawuran bak ninja, bentrok dengan sekumpulan supir angkutan umum/pete-pete (mungkin isi kepalanya sama……).

Diskusi

Diposting oleh Pondok Mahalona Kamis, 22 Oktober 2009 0 komentar

Oleh ressay pada Artikel. Ditandai:Diskusi, HMI, Identitas, Inderawi, Intuisi, Kaidah, Komunikasi, Logika, Metode, Non-Kontradiksi, Prima Principia. 1 Komentar



Manusia sebagai makhluk sosial tentu membutuhkan adanya hubungan dengan manusia lain. Tidak hanya hubungan secara fisik saja tapi juga hubungan ide diantara mereka. Hubungan ide antara satu manusia dengan manusia lain disebut sebagai komunikasi.

Dalam proses komunikasi, seseorang mengirimkan pesan kepada penerima pesan dengan harapan adanya reaksi terhadap pesan tersebut. Jadi komunikasi akan terjadi jika terdapat tiga hal yaitu pengirim pesan, pesan itu sendiri dan terakhir penerima pesan.

Pesan merupakan ide / pikiran manusia yang didapat melalui berbagai cara. Ada secara inderawi, ada secara akli, intuisi dan lain sebagainya. Ide yang ada merupakan cerminan dari realitas yang ada. Tak mungkin ide manusia merupakan cerminan dari yang tiada. Yang tiada tak mungkin memberikan efek, termasuk efek terhadap pengetahuan manusia.

Untuk memudahkan manusia dalam berpikir, manusia melakukan abstraksi terhadap cerminan dari realitas. Abstraksi tersebut dinamakan dengan bahasa. Bahasa terdiri atas simbol-simbol yang menggambarkan konsepsi manusia tentang realitas.

Dalam komunikasi, simbol-simbol tersebut bersifat material agar bisa diindera oleh penerima pesan sehingga bisa ditanggapi olehnya. Simbol yang merupakan alat komunikasi tersebut merupakan kesepakatan masyarakat, sehingga ia bisa digunakan bersama-sama dan komunikasi dapat mencapai tujuannya. Jika simbol yang digunakan oleh berbeda antara pengirim peesan dan penerima pesan maka komunikasi akan gagal, ide yang ingin disampaikan oleh pengirim pesan tidak dimengerti oleh penerima pesan.

Begitu juga dengan pemaknaan terhadap simbol yang sama, ia harus disepekati bersama oleh pengirim dan penerima pesan. Jika makna suatu simbol tidak sama antara yang dimaksud oleh pengirim pesan dan yang dimengerti oleh penerima pesan, maka komunikasi akan gagal. Contoh yang sering diceritakan adalah pemaknaan ka “atos” antara orang Jawa dengan orang Sunda. Orang Jawa memaknai “atos” dengan makna keras, sedangkan orang Sunda memaknai sebagai makna “sudah”.

Jadi dalam suatu komunikasi harus ada kesamaan bahasa dan makna yang dipakai / dipahami oleh pengirim pesan dan penerima pesan. Selain itu, bahasa juga harus menunjuk pada realitas yang sama. Jika ada komunikasi menggunakan kata “kucing” dengan makna yang sama tetapi realitas yang ditunjuk berbeda, maka komunikasipun akan gagal. Jadi dalam suatu komunikasi dapat disimpulkan harus ada kesesuaian antara bahasa, pikiran dengan realitas yang dimaksudkan.

Sebagian orang mengatakan bahwa pemaknaan terhadap suatu simbol oleh seseorang tidak sama dengan orang lain. Begitu juga dengan penunjukan suatu makna terhadap suatu realitas. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa kebenaran menurut seseorang tidak sama dengan kebenaran menurut orang lain. Dengan kata lain, kebenaran bernilai relatif. Pemahaman demikian tidaklah tepat. Jika demikian adanya, maka seseorang tidak dapat memastikan kebenaran. Sehingga apapun yang dikomunikasikan tidak akan pernah sesuai dengan tujuan berkomunikasi. Lalu, bagaimana dengan pernyataan-pernyataan mereka?. Konsekuensinya, apapun yang mereka ucapkan harus diabaikan.

Antara satu manusia dengan manusia lain memang memiliki perbedaan. Namun harus diketahui juga bahwa antara mereka juga memiliki kesamaan. Kesamaan antara satu orang dengan orang lain adalah dalam kaidah-kaidah berpikirnya, misalnya. Tidak mungkin ada interaksi, dalam hal ini komunikasi jika tidak ada kesamaan antara satu dengan lainnya. Selain itu, kesamaan pikiran antara manusia satu dengan yang lainnya bisa dihasilkan melalui kesepakatan-kesepakatan. Misalnya kesepakatan bahwa kata “manusia” digunakan untuk mewakili hewan yang berpikir.

Dalam berkomunikasi, yang dimaksud dengan pesan adalah pikiran yang dinyatakan oleh pengirim pesan. Maka membicarakan tentang kebenaran pikiran merupakan suatu hal yang diperlukan. Komunikasi akan berjalan dengan baik jika pesan (pikiran) bernilai benar.

Kebenaran suatu pikiran haruslah memenuhi dua syarat yaitu syarat bentuk dan syarat isi. Syarat bentuk berkaitan kesesuaian susunan-susunan pikiran dengan kaidah berpikir manusia. Sedangkan syarat isi berkaitan dengan kesesuaian dengan realitas (kenyataan). Kebenaran bentuk diuji secara deduktif sedangkan kebenaran isi diuji dengan metode induktif.

Kaidah berpikir manusia secara garis besar dibagi menjadi tiga yang dikenal dengan Prima Principia. Ketiga hal tersebut adalah:

1. Prinsip identitas

Prinsip ini menyatakan bahwa sesuatu adalah sesuatu itu sendiri; A adalah A.

2. Prinsip non-kontradiksi

Prinsip ini menyatakan bahwa sesuatu bukan selain sesuatu itu:; A bukan selain A; A tidak sama dengan selain A.

3. Prinsip Menolak kemungkinan ketiga.

Prinsip ini menyatakan bahwa pikiran manusia hanya bisa menunjuk sesuatu atau selainnya saja. Sesuatu atau selainnya saja; A atau selain A.

Kaidah-kaidah berpikir manusia diatas merupakan bentuk konsistensi pikiran terhadap pikiran sebelumnya. Sedangkan kebenaran isi merupakan bentuk konsistensi pikiran terhadap kenyataan yang dimaksud oleh pikiran tersebut. Kesalahan pesan dalam sebuah komunikasi dapat dikategorikan menjadi dua; yaitu kesalahan yang tidak disadari dan ksalahan yang disadari. Kesalahan yang disadari biasa disebut dengan kebohongan.

Kebutuhan manusia akan pengetahuan adalah kebutuhan yang sangat mendasar. Kebutuhan ini sangat menentukan keberhasilan kehidupan seorang manusia. Pengetahuan digunakan manusia untuk menentukan tujuan dan cara mencapai tujuan. Tanpa pengetahuan kehidupan manusia menjadi tidak berarti.

Keterbatasan seorang manusia untuk mendapatkan pengetahuan tak mungkin dapat memenuhi kebutuhannya yang sangat banyak. Keterbatasan fisik, latar belakang, waktu, dan tempat misalnya menyebabkan pengetahuan yang didapatkan juga terbatas. Sehingga ia membutuhkan yang lain untuk melengkapi kekurangannya. Ia membutuhkan pengetahuan orang lain untuk memenuhi kenutuhannya akan pengetahuan.

Diskusi merupakan metode untuk mendapatkan pengetahuan baru. Pengetahuan seseorang yang didapatkannya di luar diskusi disampaikan kepada peserta diskusi lain sehingga peserta diskusi akan mendapatkan pengetahuan baru. Namun pengetahuan baru tersebut tidak dapat langsung dibenarkan. Ia harus diuji terlebih dahulu baik dari segi bentuk maupun dari segi isi. Sehingga pengetahuan yang disampaikan dapat dipastikan kebenarannya.

Untuk berjalannya proses diskusi degan baik maka ada syrat-syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut adalah;

1. Adanya perbedaan

Karena tujuan diskusi adalah untuk mendapatkan pengetahuan baru maka harus ada perbedaan pengetahuan antara satu dengan yang lainnya tentang sesuatu yang didiskusikan.

2. Adanya kesamaan

Hubungan dalam hal ini adalah hubungan pikiran satu orang dengan orang lain hanya akan terjadi jika ada kesamaan. Kesamaan ini bisa berupa kesamaan prinsip berpikir, kesamaan bahasa yang dipahami, masalah yang dibicarakan maupun kesamaan tujuan. Jika seseorang berdiskusi namun tujuannya bukan untuk mendapatkan pengetahuan baru yang benar, misalnya untuk memaksakan pendapatnya, maka diskusi tidak akan berjalan dengan baik.

Selain kesamaan yang disebutka di atas, harus ada kesamaan juga dalam menilai kebenaran suatu pemikiran. Kriteria kebenaran yang harus disepakati adalah;

1. Kebenaran bersifat universal

Kebenaran suatu pemikiran harus bernilai universal, artinya berlaku untuk kapanpun dan dimanapun. Jika tidak demikian maka peserta diskusi yang tempat dan waktu mendapatkan pengetahuan baru tersebut berbeda tidak dapat menerima kebenaran tersebut.

2. Kebenaran bersifat mutlak

Tanpa pandangan tersebut, maka diskusi akan sis-sia. Apapun pengetahuan baru yang ada dalam sebuah diskusi tidak dapat diterima sebagai kebenaran. Sehingga semua perkataan yang dikemukakan dalam sebuah diskusi tidak berbeda dengan kebohongan, ketidakwarasan dan omong kosong.

3. Kebenaran bersifat manusiawi

Artinya bahwa pengetahuan yang disampaikan secara alamiah dapat diterima atau dimengerti oleh manusia. Tak perlu ada rekayasa seperti melalui bujukan, paksaan atau paksaan. Jika ada rekayasa seperti itu maka perlu dipertanyakan kebenarannya. Kebenaran akan diterima jika hal itu memang sebuah kebenaran, diakui secara lisan atau tidak.

4. Kebenaran bersifat argumentatif

Dalam sebuah diskusi, pembuktian terhadap kebenaran sebuah pendapat atau pengetahuan baru harus dimiliki. Argumentasi digunakan untuk menjelaskan proses mendapatkan pengetahuan baru tersebut sehingga orang lain dapat menilai kebenarannya dari proses tersebut.

Argumentasi adalah proses bergeraknya suatu pengetahuan yang menjadi patokan menuju pengetahuan baru (kesimpulan). Dalam menilai kebenaran dan keabsahan argumentasi, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama adalah kebenaran dari isi pengetahuan yang menjadi pijakan. Kedua adalah keabsahan penyusunan pengetahuan-pengetahuan pijakan menjadi suatu kesimpulan (proses pengambilan kesimpulan).

5. Kebenaran bersifat ilmiah

Ini dimaksudkan agar kebenaran suatu pengetahuan dapat dibuktikan oleh orang lain bahwa pengetahuan tersebut sesuai dengan kenyataan yang ada. Kebenaran yang tidak dapat dibuktikan oleh orang lain tidak dapat didiskusikan. Artinya bahwa kebenaran tersebut tidak dapat dihukumi untuk orang lain.


Dalam sebuah diskusi terkadang terdapat alasan tentang suatu pendapat yang bukan merupakan argumentasi, yang disebut dengan pembenaran. Pembenaran biasanya dilakukan dengan mengandalkan emosi, otoritas, ketakutan atau sekedar kekeliruan berpikir. Contoh dari pembenaran adalah sebuah pernyataan “Jangan masuk HMI!” “karena senior saya bilang begitu”, atau “karena beberapa alumni HMI menjadi politikus” atau “karena anak HMI jarang pake baju koko” dan lain sebagainya.

Sebagaimana dikatakan diatas bahwa diskusi dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan baru. Sedangkan pengetahuan dibutuhkan untuk menentukan tujuan dan cara mencapai tujuan. Maka pengetahuan hanya bernilai jika digunakan untuk hal itu. Pengetahuan yang tidak digunakan bearti suatu kesia-siaan. Kesia-siaan adalah suatu kerugian. Kebodohan manusia dikategorikan menjadi dua yaitu kebodohan karena tidak adanya pengetahuan dan kebodohan karena tidak menggunakan pengetahuan yang dimiliki.

Yakin Usaha Sampai!!!

Dikutip dari Modul Pasca LK I HMI Korkom UPI.

A M Safwan**)

Mukaddimah

Perjalanan sejarah nusantara hingga republik kita hari ini ditandai dengan berbagai unsur kebudayaan yang berinteraksi dengan paham keagamaan yang masuk. Salah satu yang menonjol dan sering menimbulkan banyak perdebatan adalah tradisi masyarakat di nusantara dalam sejarah Islam awal di nusantara. Sehingga polemik sejarah itu tak kunjung usai antara fakta dan mitos. Dalam konteks sejarah perkembangan gerakan ahlulbait atau lebih spesifik paham keagamaan syi’ah di nusantara, kita mendengar dan membaca ada kesan yang tidak tuntas. Tidak sedikit yang mendukung analisis bahwa perkembangan Islam di Indonesia pada awalnya adalah dipelopori oleh Islam syi’ah, tetapi terdapat juga pandangan yang melihat adanya hipotesis tersebut oleh karena merunut pada kesamaan tradisi saja tanpa memiliki signifikansi dengan kerangka teologi dan ideologi politik syi’ah. Contoh yang paling sering dikutip adalah tradisi perayaan hari Asyura, peringatan syahidnya Imam Husain as. di Padang Karbala pada tanggal 10 Muharram 61 H, peringatan ini di Aceh dikenal bahwa bulan tersebut sebagai bulan “Asan Usen”, di Sumatera Barat dikenal sebagai “bulan tabuik”, di Jawa sebagai bulan “Suro”. Untuk pembahasan yang detail lihat artikel Azyumardi Azra, Syi’ah di Indonesia; Antara Mitos dan Realitas, Jurnal Ulumul Qur’an No. 4,Vol.VI, Tahun 1995. Apapun, sejarah kebudayaan Islam di Indonesia memiliki tradisi seperti dalam tradisi ahlulbait dan bahkan isi kebudayaan mereka misalnya tidak lepas kepada pengkhidmatan kepada AhlulBayt Nabi as. Persoalan apakah itu dibentuk dan dikembangkan oleh kaum Syi’ah atau tidak tidak menjadi masalah. Kita tidak mementingkan klaim tetapi nilai sebuah kebudayaan itu sendiri.

Gerakan AhlulBait di Indonesia Kontemporer

Di Indonesia kontemporer, perkembangan gerakan AhlulBait tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Revolusi Islam Iran 1979 yang dipimpin oleh Imam Khomeini yang merupakan seorang pencinta AhlulBayt dari kalangan Syi’ah Imamiyah. Pengaruh revolusi ini begitu kuat terutama dengan publikasi-publikasi tulisan Ali Syari’ati, Murtadha Muthahhari dan Imam Khomeini sendiri ke dalam bahasa Indonesia yang mendapat respon besar dari pembaca Indonesia, terbukti dari ramainya perbincangan mengenai revolusi dan dasar pemikiran Imam Khomeini mulai paruh tahun 1980. Salah satu tokoh intelektual di Indonesia yang kemudian banyak menjadi referensi dalam perbincangan mengenai Iran dan Syi’ah oleh publik kita adalah Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. Dia banyak menulis dan memberi tanggapan mengenai pemikiran Syi’ah dan juga menjadi pembicara dalam berbagai seminar di Indonesia. Oleh karena itu peran besar Jalaluddin Rakhmat tidak dapat dilepaskan dalam perkembangan ahlulbait di Indonesia. Penerbitan yang bertema sekitar madzhab ahlulbayt ini juga sangat intens, awalnya oleh penerbit Mizan, terus berkembang dan didukung oleh penerbit lainnya, misalnya, Pustaka Hidayah dan Lentera . Penerbit Mizan sendiri misalnya menerbitkan buku Dialog Sunnah Syiah yang dicetak hingga beberapa kali . Penerbitan buku-buku bertema ahlulbait (berbahasa Indonesia) hingga kini terus saja berlangsung, tidak kurang dari 373 judul yang telah diterbitkan mengenai AhlulBayt oleh 59 penerbit yang ada di Indonesia hingga Februari 2001 (Sumber : Pusat Data AhlulBait Indonesia Yayasan RausyanFikr) . Berikut ini tabel penerbitan buku bertema ahlulbait oleh 4 penerbit besar. Penerbit Dengan Jumlah Judul Buku Terbanyak NO. Nama Penerbit Jumlah Judul 1. Pustaka Hidayah 60 2. Mizan 56 3. Lentera 50 4. YAPI Jakarta 31 Sumber : Pusat Data AhlulBait Indonesia Yayasan RausyanFikr Pengiriman pelajar ke Hawzah Ilmiyyah (semacam pondok pesantren) Qum, Iran, juga terlaksana dan hingga kini pengiriman pelajar terus berlangsung demikian hal dengan kembalinya beberapa pelajar yang kemudian mengajarksn pemikiran ahlulbait di Indonesia, mereka berpartisipasi melalui kelompok pengajian dan yayasan yang dibentuk oleh para pencinta ahlulbait karena didorong oleh kepentingan perkembangan jamaah dan kebutuhan untuk melakukan sosialisasi pemikiran ahlulbait secara terorganisasi. Berikut ini adalah data perkembangan gerakan ahlulbait melalui yayasan dan kelompok pengajian Jenis Kegiatan Jumlah Yayasan 36 Kelompok Pengajian 43 Sumber : Pusat Data AhlulBait Indonesia Yayasan RausyanFikr Penyebaran kelompok pengajian dan yayasan-yayasan ahlulbait di Indonesia dapat dilihat melalui tabel berikut ini : Daerah Jumlah TK I (Propinsi) 21 TKII (Kabupaten/Kota) 33 Sumber : Pusat Data AhlulBait Indonesia Yayasan RausyanFikr Faktor globalisasi dan iklim sosial-politik Indonesia tentunya sangat mendukung perkembangan tersebut. Secara global, lahirnya berbagai madzhab pemikiran sosial di dunia menunjukkan kepentingan untuk mencari solusi akan berbagai permasalahan manusia yang ternyata, katanya, banyak pemikiran yang ada sekarang tidak mampu menjawabnya. Oleh karena itu, lahir dan berkembangnya berbagai wacana keagamaan menjadi bahan yang menarik bagi banyak kalangan. Dalam konteks Indonesia, kita melihat mulai meningkatnya jumlah masyarakat yang terdidik secara modern tetapi memiliki social origin Islam. Hal ini memungkinkan sekali adanya penggalian wacana keagamaan kita secara kritis dan terbuka serta positif dan historis.

MUNCULNYA IJABI

Pada tanggal 1 Juli 2000 di Gedung Merdeka Bandung dideklarasikanlah berdirinya organisasi massa Ikatan Jamaah AhlulBait Indonesi. Ormas ini dipelopori oleh tokoh intelektual Indonesia Dr. Jaluluddin Rakhmat, M.Sc yang kini duduk sebagai ketua Dewan Syuro’. Kang Jalal (akrab disebut demikian) yang pakar komunikasi ini juga dikenal sebagai cendikiawan muslim Indonesia. Kang Jalal mendirikan bersama beberapa orang diantaranya dua orang doktor dari ITB yaitu Dimitri Mahayana dan Hadi Suwastio Pendirian IJABI tersebut tentunya didasarkan pada perkembangan yang digambarkan di atas. IJABI terdaftar secara resmi di Departemen Dalam Negeri melalui Direktorat Jendral Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat nomor : 127 Tahun 2000/D.I tanggal 11 Agustus 2000. Pendirian dan pengembangan IJABI ini memang banyak dipelopori oleh para pencinta ahlulbait dari kalangan Syi’ah (imamiyah) tetapi misi IJABI adalah menghimpun seluruh pencinta ahlulbait dari kalangan manapun untuk melakukan kerja-kerja pemberdayaan mustadha’afin dan pencerahan pemikiran umat, yang tampaknya dengan ormas yang ada sekarang akan sulit efektif karena banyaknya kontaminasi politik yang bias konflik politik.. Tujuan IJABI secara eksplisit dijabarkan dalam AD/ART, salah satu keunikan tujuan itu adalah mengenalkan dan menyebarkan ajaran Islam yang diriwayatkan melalui jalur keluarga Nabi SAWW. Keunikan inilah yang menantang ormas ini untuk membuktikan bagaimana epistemologi dan implikasi aksiologis dari kecintaan kepada AhlulBait Nabi SAWW. Dengan asas kecintaaan kepada AhlulBait Nabi SAWW, IJABI merumuskan metode pergerakannya dengan pendekatan cinta (tasawwuf, irfan). Pendekatan ini adalah kajian tasawuf -filosofis, jadi pengembangan konsep cinta itu dibentuk oleh dasar-dasar teologis-rasional. Dalam kajian ahlulbait, pengembangan gerakan sosial manusia dibentuk oleh gerakan yang berkembang dalam diri manusia sendiri. Pengenalan terhadap diri adalah kunci mengenal Allah SWT. Pengenalan kepada Allah SWT tidak dapat hanya melalui wahyu semata (tekstualitas nash) tetapi juga dengan kebenaran akliah. Secara sederhana, pengembangan gerakan sosial harus didukung bukan saja oleh perangkat analisis sosial dan dukungan masyarakat tetapi juga harus didukung oleh manusia yang takzim kepada Allah SWT dan Rasulullah SAWW. Di sinilah peran Imamah (kepemimpinan) menjadi kajian selanjutnya yang harus dipahami oleh para pencinta ahlulbait dengan dasar-dasar teologis-rasional. Dalam konteks itu, maka sikap terhadap keberagaman adalah terbuka, karena kita percaya keterbukaan adalah syarat untuk menguji sebuah pemikiran. Pengujian ini sesungguhnya inheren dalam kritisisme ahlulbait sebagaimana dalam gambaran penantian (okultisme) kepada Al-Mahdi as. Demikian gambaran singkat mengenai perkembangan gerakan ahlulbait di Indonesia dan serba sedikit tentang analisis pergerakannya. Wallahu’alam bi al-Shawab ————————————————-

*) Di Sampaikan dalam Diskusi Panel bertema “Khazanah Keberagaman Islam, Bagaimana Memahami dan Mensikapinya, Dilaksanakan oleh HMI Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta, 21 Februari 2001.

**) Pengurus Wilayah IJABI Yogyakarta

sumber : Ijabi Jogya

Membaca Luka Arung Palakka

Diposting oleh Pondok Mahalona 0 komentar

Judul: Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17
Judul Asli: The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) Seventeenth Century
Penerbit: The Hague, Martinus Nijhoff, 1981, Verhandelingen KITLV, 91, 1981 KITLV, Leiden Netherland
Penulis: Leonard Y Andaya
Penerjemah: Nurhady Sirimorok
Penerbit: Ininnawa & Media Kajian Sulawesi, Makassar 2004,
Tebal: xxiv + 459 + 10 peta

ANDAYA mengarahkan perhatiannya kepada Arung Palakka sebagai wakil dari tema dan kepercayaan dasar yang sampai sekarang menguasai kehidupan orang Bugis/Makassar. Dari sanalah dia mencoba mencari akar sebab Arung Palakka rela bersekutu dengan VOC seraya memerangi saudaranya sendiri di Kerajaan Goa yang sedang jaya-jayanya sebagai salah satu kerajaan terkuat dan terbesar di Nusantara abad ke-17.

Jawaban persoalan itu, menuru Andaya, kurang tepat jika dicari dalam kerangka persaingan ekonomi di wilayah bagian barat laut Nusantara, antara Kerajaan Goa dan VOC, yang memuncak dalam Perang Makassar 1666-1669, sebagaimana diyakini para sarjana lokal dan mancanegara. Alasan pokok Arung Palakka bukanlah ekonomis-politis, tetapi panngadereng yang meliputi siri’’ (harga diri atau kehormatan dan rasa malu), pacce (perasaan sakit dan pedih atas penderitaan saudara sebangsa), dan sare (kepercayaan bahwa seseorang dapat memperbaiki atau memperjelek peruntungannya dalam hidup ini melalui tindakan orang itu sendiri).

Tanpa memahami ketiga ciri kultural yang memegang peranan sangat penting dalam sejarah Sulawesi Selatan saat itu, akan keruh selamanya menilai Arung Palakka. Lagi pula Andaya percaya diktum sejarawan JC van Leur bahwa masa lalu tidak ditulis untuk dinilai dengan nilai masa kini, dan oleh karena itu siri’, pacce, dan sare adalah bahan yang lebih baik dan adil dipakai untuk menilai dan mengevaluasi kejadian penting di abad itu, ketimbang standar masa kini. Demikianlah dia memasuki dan memberi sumbangan penting dalam polemik yang sampai kini masih berkembang di antara masyarakat Sulawesi Selatan tentang Arung Palakka yang tokoh sejati, pahlawan tulen bukan pengkhianat dan penindas.

BERLATAR belakang seperti itu, Andaya memulai riwayat tokohnya dengan membahas sejumlah ciri tertentu budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang dikaitkannya dengan keadaan historis abad ke-17, terutama perkembangan Islam dan perdagangan internasional yang memuncak menjadi ketegangan antara Goa, Bone, dan VOC yang hadir di sana sejak tahun 1601. Ketegangan yang dia perlihatkan dengan rinci menjadi latar kelahiran serta mengisi pikiran masa kanak dan muda Arung Palakka.

Arung Palakka lahir sekitar tahun 1635 di Desa Lamatta, daerah Mario Wawo Soppeng, sebagai pewaris takhta Kerajaan Bone. Ketika umurnya delapan tahun, Bone diperangi Goa yang gusar dan berhasil menaklukkannya. Sejak berumur 11 tahun Arung Palakka dan keluarganya dibawa sebagai sandera ke Istana Goa. Mereka beruntung karena menjadi pelayan Karaeng Pattinggaloang, tokoh penting dan jenius di Kerajaan Goa. Di bawah asuhannya, Arung Palakka tumbuh menjadi pangeran yang mengesankan dalam olah otak maupun olahraga.

Meski dia terlibat aktif di Istana Goa dan berkawan dengan para pemuda Makassar, siri’ dan pacce mengingatkannya selalu sebagai putra dari seorang Bugis pembuangan dan bahwa rakyatnya menderita. Awal 1660 dia merasa penderitaan itu semakin hebat karena harus menyaksikan 10.000 orang tua maupun muda diseret dari Bone ke Makassar atas perintah Sultan Hassanudin melalui Karaeng Karunrung dan Regent (Bupati) Bone, Tobala. Mereka dijadikan pekerja paksa penggali kanal di sepanjang garis pertahanan pantai Makassar agar ada pemisah antara Kerajaan Goa dan Benteng Pa’nakkukang yang diduduki VOC.

Lantaran banyak yang sakit dan melarikan diri, seluruh bangsawan Bone dan Soppeng diperintahkan keluar dari istana, bekerja bersama rakyatnya. Ini melipatgandakan pelecehan siri’ yang sudah diderita oleh rakyat Bugis karena junjungannya dipaksa melakukan pekerjaan kasar yang tidak seharusnya. Pelecehan siri’ itu menjadi derita kolektif orang Bugis dan menebalkan pacce di antara mereka. Perlawanan pun dirancang.

Arung Palakka adalah salah satu perancangnya, tetapi perlawanan itu patah oleh kekuatan Goa yang besar. Ia terdesak. Akhir tahun 1660 dia meninggalkan Sulawesi bersama pengikutnya menuju Batavia dengan bantuan VOC, namun dalam hatinya terpatri sumpah tidak akan berhenti mencari cara untuk kembali, bikin perhitungan, dan merdekakan negeri Bugis.

Setelah menunggu lima tahun, keinginannya terkabul. VOC yang kagum akan daya tempur pengikut Arung Palakka yang disebut Toangke ("Orang Angke", diambil dari Kali Angke yang mengalir melewati perkampungan Bugis di Batavia) saat membantu memadamkan pemberontak Minangkabau, mengajaknya memerangi Goa yang dinilai mengganggu kepentingan ekonomi VOC.

ANDAYA memberi ruang luas buat mengisahkan Perang Makassar. Salah satu yang menarik adalah ditunjukkannya psikologi Arung Palakka dan Cornelis Speelman yang menjadi aktor utama pilihan VOC memimpin ekspedisi ke Goa. Keduanya menderita oleh apa yang mereka anggap ketidakadilan sehingga rela berkorban apa pun demi memulihkan nama. Speelman yakin cuma kemenangan yang bisa membersihkan namanya dari noda dipecat dengan tidak hormat karena perdagangan gelapnya sebagai Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665. Sementara bagi Arung Palakka, kemenangan akan membebaskannya dari beban berat bahwa siri’-nya telah mati.

Hanya dengan memulihkan siri’-nya dan rakyatnya dia dapat memperlihatkan wajah di Sulawesi Selatan. Dia yakin lebih baik mati untuk mempertahankan siri’ (mate ri siri’na) ketimbang hidup tanpa siri’ (mate siri’). Mati untuk memulihkan siri’ adalah "mati dengan siraman gula dan santan" (mate ri gollai, mat ri santannge). Situasi psikologis itulah yang mendorong keduanya "menafsir ulang" perintah VOC dan menjalankan "jihad" terhadap Goa.

Hal lain yang menarik adalah kajian Andaya mengenai dampak perang itu atas rakyat Makassar. Melalui cerita rakyat Makassar, Sinrili’na Kappala’ Tallumbatua, dia memperlihatkan Arung Palakka dan Perang Makassar yang dimaknai rakyat pedesaan Makassar sebagai kemenangan rakyat dan keunggulan nilai-nilai mereka yang didasarkan pada kebiasaan dan praktik (ada’) yang sudah sangat tua dalam masyarakat, yaitu siri’, pacce, dan sare.

Ini sangat berlainan dengan tulisan para sejarawan Barat maupun sejarawan Indonesia yang melulu bergantung pada sumber Kerajaan Bugis-Makassar dan/atau dokumen VOC. Mereka cenderung menggambarkan kepahitan dan pesimisme di kalangan para raja dan ningrat Makassar sebagai pantulan perasaan seluruh rakyat Makassar. Jadi, seharusnya masyarakat Sulawesi Selatan dapat menurunkan kadar emosional dan lebih rasional setiap mendiskusikan mengenai implikasi Perang Makassar.

Seusai Perang Makassar, Arung Palakka sangat memahami bahwa VOC telah menjadi kekuatan "di", namun bukan "milik", Sulawesi Selatan. Perbedaan ini disadari dan dimanipulasi untuk menciptakan dirinya sebagai salah satu penguasa atasan paling berhasil dalam sejarah Sulawesi Selatan. Jalan menuju ke sana dirintisnya tidak saja dengan kesadaran dia tidak akan berbalik melawan VOC yang telah memulihkan hidupnya dan rakyatnya, tetapi juga dengan selalu membuktikan kesetiaannya. Ia rela meninggalkan negerinya pada Mei 1678 untuk berperang membantu VOC menyelesaikan persoalan pengungsi Makassar pimpinan Karaeng Galesong yang membantu perlawanan Trunajaya di Jawa.

Akhirnya, Andaya menyimpulkan Arung Palakka adalah tokoh yang diberkati visi dan kepiawaian politik yang kuat sehingga mampu menggunakan pengaruhnya dengan efektif terhadap negara lokal, bahkan membuat pemerintah pusat VOC di Batavia bergantung dan rela mengabaikan suara wakilnya di Fort Rotterdam agar membelenggu Arung Palakka yang memaksa mereka semua berbagi mimpinya akan Sulawesi Selatan bersatu.

Mimpi yang dalam 30 tahun kekuasaannya berhasil diwujudkan, tetapi sekaligus membuat banyak pangeran dan pengikutnya yang tak setuju lari mencari rumah di tanah seberang sehingga mewarnai sejarah daerah tujuan itu. Inilah yang menurut Andaya sebagai warisan Arung Palakka, tidak hanya bagi Sulawesi Selatan tetapi juga bagi Nusantara, selain teladan pribadinya sebagai pemimpin yang sadar, paham, teguh memegang serta menjalankan tradisi politik yang bermartabat sebagaimana tersebut dalam amanat leluhur yang tertulis maupun tak tertulis.

Review ini juga bisa dibaca di sini.

*JJ Rizal Peneliti sejarah dan sastra di Komunitas Bambu